JAKARTA, BC - Anak buah jaksa Urip Tri Gunawan mengaku kaget saat menyaksikan tayangan pengumuman penghentian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 29 Februari 2008 di televisi. Mereka heran karena temuan kekurangan pengembalian aset senilai Rp 4 triliun lebih oleh Sjamsul Nursalim tidak diumumkan.
Hal itu terungkap dalam sidang kedua kasus penyuapan dan pemerasan dengan terdakwa Urip Tri Gunawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa (1/7). Urip menjadi terdakwa penerima suap dari Artalyta Suryani senilai 660 ribu dolar AS terkait kasus BLBI II dan memeras mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn M Yusuf senilai Rp 1 miliar.
Sidang itu menghadirkan saksi Hendro Dewanto, Yunita Arifin, dan Yoseph Wisnu Sigit. Ketiganya adalah jaksa anggota tim BLBI II yang diketuai jaksa Urip untuk menyelidiki kasus Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.
Dalam sidang, Hendro menuturkan, timnya menemukan adanya tindakan menyalahi hukum dalam kasus BDNI. Namun, hal itu justru tak terungkap dalam rekomendasi yang dikeluarkan Kejaksaan Agung (Kejagung) saat disampaikan kepada publik pada 29 Februari 2008.
“Kami menemukan ada kekurangan penyerahan pemegang saham BDNI, dalam hal ini Syamsul Nursalim, sebesar Rp 4 triliun 758 miliar dan usulan kami pada Menkeu untuk melakukan penagihan kepada yang bersangkutan,” ujarnya dalam persidangan. Ia menambahkan, temuan itu telah dilaporkan kepada JAM Pidsus yang saat itu dijabat oleh Kemas Yahya Rahman.
“Kita heran, kok di TV temuan yang Rp 4 triliun itu nggak ada,” kata Hendro. Namun Hendro dan anggota tim lainnya hanya bisa kaget dan heran.
“Hanya itu saja. Tidak berusaha bertanya ke pimpinan,” tanya Teguh Hariyanto, hakim ketua pada persidangan itu. “Ya sudah kebijakan pimpinan. Ya sudah begitu saja,” jawab Hendro.
“Jadi Saudara merasa hasil kerja tim sudah diabaikan,” tanya Teguh lagi. “Iya,” jawab Hendro.
Hendro juga mengungkapkan bahwa pada saat ekspose kasus, Urip mengarahkan kasus dari dugaan perkara pidana ke perkara perdata.
Jaksa Urip yang duduk di kursi pesakitan tampak serius mendengarkan kesaksian mantan anak buahnya. Sesekali dia menempelkan tangan di dahi, mengapit batang hidungnya dengan kedua tangan, lalu menunduk dengan topangan kedua tangan di dahinya.
Amplop putih
Hendro menuturkan, ia tahu ada upaya penyuapan oleh mantan Kepala BPPN Glenn Yusuf yang berulangkali diperiksa Kejagung terkait penyelidikan dugaan korupsi pada penyerahan aset BLBI terkait Bank BCA dan Bank BDNI.
Menurut Hendro, upaya penyuapan itu melalui pengacara Glenn, yakni Reno Iskandarsyah. Reno memberikan amplop kepada Alex Sumarna yang juga anggota Tim BLBI II.
Dia menuturkan, pada awal Januari 2008, Reno menemui Alex Sumarna. Hendro juga hadir dalam pertemuan itu. Reno lantas mengeluarkan amplop berwarna putih dan menyodorkan kepada Alex. Hendro lantas bereaksi spontan mengingatkan Alex. “Pak, jangan itu tidak baik,”ujar Hendro.
Alex pun urung menerima pemberian Reno. Ia memberi tahu pada teman-temannya di Kejaksaan Agung perihal amplop yang ia tidak ketahui isinya.
Dalam kesempatan lain, kata Hendro, Reno juga pernah mendatangi dirinya dan menanyakan siapa Ketua Tim BCA. Hendro menjawab, Sriyono untuk BCA dan Urip Tri Gunawan untuk BDNI. Hendro mengaku tahu bahwa Reno juga berupaya menyodorkan “amplop” kepada tim itu.
Bahkan, dari informasi yang diperoleh Hendro, Reno juga menawarkan amplop ke auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diminta bantuan Kejagung untuk menyelidiki kasus BLBI.
Dua saksi lainnya yang juga dihadirkan jaksa adalah Yunita Arifin dan Yoseph Wisnu Sigit juga mengaku pernah dengar informasi percobaan penyuapan itu.
Titipan 100
Dalam kesaksiannya, Hendro juga menuturkan bahwa jaksa Urip pernah menanyakan siapa nama istri pemilik BDNI Sjamsul Nursalim. Setelah itu Urip menyampaikan bahwa ada titipan 100.
“Pada 7 September 2007, saya ditelepon Pak Urip. Pak Urip bertanya kenapa saya tidak masuk. Saya bilang saya sakit. Lalu Pak Urip bilang sudah ketemu seseorang. Lalu saya ditanya siapa nama istri Sjamsul Nursalim. Saya bilang Ici Nursalim secara spontan,”tutur Hendro.
“Lalu Pak Urip bilang nomor 1, 2, dan 3 sudah dianu, tinggal nomor Pak Hendro. Pak Urip bilang ada orang yang sering datang ke kantor meminta bantuan. Lalu telepon mati. Kemudian Pak Urip telepon kembali, bilang ada titipan 100 untuk tim sebagai tanda persahabatan,” urai Hendro.
Hendro mengaku saat itu hanya tertawa mendengar ucapan Urip yang merupakan Ketua Tim BLBI II. Namun Hendro tak menjelaskan apa yang dimaksud dengan titipan ‘100’ maupun kalimat ‘sudah dianu’.
“Pada Senin (10 September 2007) setelah apel pagi, saya bilang ke Pak Urip, saya tidak bisa tidur gara-gara telepon kemarin. Saya tidak setuju dengan Pak Urip. Kata Pak Urip, itu cuma guyonan kok. Lalu saya bekerja kembali,” kata Hendro.
Sementara menurut Yunita Arifin, jaksa Urip mengambil semua surat panggilan terhadap Sjamsul Nursalim. “Panggilan pertama, kedua, dan ketiga diambil oleh Pak Urip,” kata Yunita.
Menurut dia, biasanya surat panggilan yang dilayangkan jaksa akan diantarkan oleh pegawai bernama Paino. Itu sebabnya jika Urip mengambil surat pemanggilan menjadi di luar kelaziman.
Meski demikian, Yunita dan timnya tak mempermasalahkan hal itu. Alasannya, dia bisa mempercayai Urip yang menjadi koordinator tim BLBI II. “Ya karena Pak Urip yang minta kepada kami,” ujar Yunita yang mengaku tak pernah melihat tanda terima atas surat panggilan kepada Sjamsul.
Jaksa KPK Sarjono Turin menyatakan bahwa hal itu belum terungkap dalam kesaksian Yunita pada sidang Artalyta Suryani. “Ternyata terkuak kalau ini tiga-tiganya. Itulah yang menjadikan modus suap Artalyta,” ujar Sarjono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar