Menghalalkan segala cara Vs Mengharamkan segala cara



Sabtu lalu saya mengikuti kelas manajemen strategik. Topik pembahasannya cukup menarik bagi saya. Intinya adalah bagaimana melakukan perencanaan pada suatu sistem menggunakan pendekatan managemen yang dijalankan di dunia usaha.

Yang membuat menarik, sang dosen menjabarkan teori tersebut dalam beberapa pendekatan yang lebih membumi. Teori ekonomi paling kuno Y= F(X) disulap menjadi menjadi contoh nyata. Simpel sekali. Nah, sampai disitu saya cukup terkesima dengan pemikiran sang dosen yang katanya sudah 25 tahun mengajar di UGM.

Tapi bukan disitu inti tulisan saya kali ini…

Begini... Ditengah-tengah kuliah, sang dosen tersebut, mengeluarkan teori yang bagi saya cukup menarik untuk di perdebatkan. “Saat ini, banyak pelaku usaha yang menghalalkan segala cara,” kata sang dosen serius.

“Tapi,” kata sang dosen sambil berpikir beberapa saat. “Banyak juga pelaku usaha yang mengharamkan segala cara,” sambungnya lagi tetap dengan mimik serius.

”Teori macam apapula itu,” gumam saya dalam hati. Sayangnya sang dosen tidak menjelaskan teori “macam apapula” itu. Jadilah teori itu menjadi bahan pemikiran saya dalam beberapa hari ini.

Saya sempat mencoba menghubungkan dengan realita dunia kerja atau bahkan dunia politik. Tapi kayaknya ga ada tuh yang bisa mencitrakan teori ini dalam dunia nyata.

Untuk teori pertama, banyak pelaku usaha [baca:individu] yang menghalalkan segala cara. Nah, untuk tipe ini seh kayaknya mudah banget ditemukan di dunia yang penuh sandiwara meminjam lirik lagu almarhum Nike Ardila.

Mulai dari sikut sana sampe bunuh sana dan bunuh sini demi satu tujuan yang namanya sering disebut kepuasan [baca:harta, tahta, wanita] Uuuupppsss….

Kalau yang satu ini tentu pembaca banyak yang setuju juga bahkan sepakat dengan saya. (apa jangan-jangan pelakunya yah hehehehe….).

Nah untuk teori kedua “mengharamkan segala cara” cukup sulit untuk dijelaskan dalam dunia nyata. Apalagi kalau itu sudah berhubungan dengan “kampung tengah”. Akhhh…. Akhirnya saya sadar sendiri. Untuk apa sih saya mikir terlalu ngejelimet kayak gituan, jika untuk memikirkan yang simpel aja masih bingung untuk dijawab….

Ketua BPK Harus Pintar??!!

"Ketua BPK itu ga harus pintar," kata Andi Anhar Ketua Komisi II DPRD Kepri. Saya yang sedang duduk di kursi empuk ruang rapat komisi hampir terjungkal mendengar ucapan sang ketua. Buru-buru saya membetulkan posisi duduk saya.

Penasaran saya langsung langsung menunggu kata-kata yang meluncur berikutnya dari Anggota dewan yang terhormat itu. “Kan yang ngejalanin BPK itu ada anak buahnya. Terus selama ini kan pengusaha yang bekerja keras untuk mendatangkan investasi,” sambungnya.

Kacau!!! Mendengar komentar Andi yang terkesan asal bunyi atau asbun itu membuat saya tertawa. Kok bisa yah seorang anggota DPRD yang katanya dipilih oleh rakyat bikin statement asbun gitu.

Untuk diketahui, tugas seorang ketua BPK adalah melaksanakan pengelolaan , pengembangan dan pembangunan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sesuai dengan fungsi kawasan perdagangan bebas tersebut.

Selain itu seorang ketua BPK HARUS membuat peraturan-peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seorang ketua BPK juga dapat mengadakan peraturan dibidang tata tertib pelayaran dan penerbangan. Juga bertanggungjawab di bidang lalulintas barang di pelabuhan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, sang ketua juga bisa menetapkan tariff untuk segala macam jasa sesuai dengan peraturan yang ada

Yang lebih ngejelimetnya, orang nomor satu di BPK itu nantinya harus mampu membuat anggaran pendapatan dan belanja yang disahkan lewat undang-undang. Tentunya keuangan itu harus dikelola juga di sepanjang garis undang-undang.

Dan yang paling penting serta membutuhkan banyak pemikiran, seorang ketua juga harus mampu memproses dan mengurusi perijinan usaha.

Nah loh…. Kalau tugasnya seabrek-abrek gitu, kok bisa-bisanya pak Anhar ngomong gituan.

Nah,, kalau kita balikin seperti ini, seorang anggota DPRD yang terhormat itu tidak harus pintar gimana yah??.. Wah, bisa-bisa saya disomasi 5789 anggota DPR, dan DPRD seluruh Indonesia.

Satu hal lagi nih, menurut saya sudah tidak jamannya lagi masih memperdebatkan layak tidaknya seorang Ketua BPK. Mestinya semua pihak saat sudah bahu membahu memasukkan investasi. Bukannya malah bergelut di retorika cocok atau tidak cocok. Nah, gimana komentar yang lain yah?