Sindrom Narsis Lima Tahunan


Menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2009 dan Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009, ribuan atribut kampanye seperti baliho, spanduk, bendera, kalender, stiker, banner, dan selebaran berserakan di banyak tempat strategis. Jika mau jujur, fenomena ini merupakan mahakarya dari para calon legislative (caleg) akan eksistensi mereka agar diperhatikan.

Akibat perbuatan mereka, mengubah kota menjadi galeri terbuka, dengan isi pameran foto-foto wajah polesan photoshop terbaik mereka. Tak hanya itu, angkutan umum dan mobil pribadi disulap menjadi media kampanye, baik oleh caleg di semua tingkatan maupun bakal capres-cawapres. Di tengah iklim politik yang kompetitif, pemasangan pelbagai atribut kampanye yang menghiasi atau malah mengotori wajah Indonesia itu sebetulnya termasuk hal yang harus dilakukan setiap caleg dan atau bakal capres-cawapres.

Setidaknya, hal itu berfungsi sebagai sosialisasi untuk memperkenalkan profil diri, visi-misi, program kerja, blue print kepemimpinan caleg dan atau bakal capres-cawapres jika terpilih. Meski demikian, mencermati content dari pelbagai atribut kampanye yang ada ternyata dominan atau bahkan cenderung berlebihan alias NARSIS!

Biasa..... anomali perasaan manusia seringkali membuat manusia sulit untuk bersikap menyombongkan diri. Narsis akan begitu dibenci bila kata itu melekat dengan kata ”orang lain”, namun pada saat itu pula, narsis itu telah menjadi kenyataan yang dekat dengan kita. Percaya atau tidak, diam-diam kita memiliki sifat alamiah dasar yaitu narsis. Saya pun sekuat tenaga untuk tidak membeci narsis yang bersenyawa dengan kata ”orang lain”. Namun kenyataannya sulit sekali….

Fenomena narsis ini di sisi lain bukan hal yang perlu diseriusi, sebab dalam kenyataannya narsis ini bisa datang dengan berbagai fungsi, misalnya dengan sedikit narsis, kita akan sedikit optimistis.

Nah, kembali ke urusan caleg, kali ini saya benar-benar dibuat heran, sebab narsis saat ini sudah keterlaluan. Coba saja lihat di tiang listrik, pepohonan di jalan, gambar caleg bertebaran di mana-mana. Ada beberapa pesan yang sengaja ingin ditampilkan dan tanpa sengaja, caleg tersebut benar-benar sedang terendam dalam lumpur narsis. Coba aja lihat ungkapan caleg dalam spanduk yang saya temukan di beberapa sudut kota Batam dan Tanjungpinang.

1. Muda Kuat dan Bergairah
2. Bersama Anda, Saya Bisa
3. Bapak Wong Cilik
4. Pilihlah Saya Jadi Wakil mu
5. Kenapa harus Golput kalau ada “Anu”
6. Pilihan Rakyat Sejati
7. Terbukti Amanah

Lebih parah lagi ada yang memberi pesan yang jauh sekali sambungannya dengan tema calegnya... “. “Aku bangga jadi bangsa Indonesia”. Nah, yang bilang saya ga bangga jadi bangsa Indonesia siapa??!!

Ada juga yang kelewat narsis bahkan cenderung keterlaluan. “Selamat datang di kawasan pengaspalan jalan anu.... berkat pengawalan bapak anu, dana APBD terealisasikan untuk pengaspalan.” Gak lupa pula, nama plus dengan logo gambar Pohon Kuningnya nongol di pengkolan jalan. Nah loh…

Memang pemilu ini adalah pemilu narsis. Siklus lima tahunan menyulap orang yang bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa lewat jalur pintas yang dinamakan pemilu. Beruntungnya, saya belum se narsis mereka untuk mengatakan bahwa saya adalah siapa-siapa dari siapa-siapa……