Masa Depan Indonesia dalam Handphone Anggodo





Sore kemarin, sepulang mengitari Tanjungpinang seharian, saya terusik dengan tayangan siaran langsung sidang Mahkamah Konstitusi dengan agenda mendengarkan rekaman Anggodo dengan ”teman-temannya”. Baru lima menit saya menyimak siaran langsung tersebut, perut saya mendadak mual. Bayangkan saja, masa depan peradilan negara ini dengan santainya dikontrol melalui telepon selular seorang bajingan bernama Anggodo!!!

Presiden Indonesia sekalipun, saya rasa tidak bisa mengontrol jalannya pemerintahan lewat telepon selular.
Ada rapat terbatas, rapat harian, rapat internal, dan rapat-rapat lain-lain. Luar Biasa memang Anggodo itu.....

Saya jadi teringat dengan germo kelas kakap yang memajang nomor handphonenya diiklan baris koran-koran merah. Dengan modal kring krang, nyerocos kesana kemari, terima panggilan dari sana sini, Anggodo berhasil bikin pejabat yang dihormati dan disegani dimata publik menjadi ”Jongos” nya.

“Jadi KPK nanti ditutup, ngerti nggak?!”

MANTAP!!!!!.

Setau saya, untuk membubarkan lembaga yang ditakuti koruptor itu butuh beberapa kali pembahasan di DPR, beberapa kali uji materi di MK, dan beberapa perpu dari Pak Presiden. Namun hal itu tampaknya keliatan sangat simpel dan gampang di mulut Anggodo. Hati kecil saya sempat nyeletuk, udah kayak satpol PP aja nutupin warung kaki lima.. (Maz Pram.. kalau ngebaca ini, maaf yah...Hehehehe... )

”Tersangka sudah ditahan, menang kita,” teriak Anggodo ketawa terkekeh. Makin mual saja saya.... Huekkksssss..


Hebatnya lagi, Anggodo bahkan terang-terangan ngebanggain kalau dia memang benar-benar germo nomor satu.

”Ternyata Truno tiga komitmennya tinggi sama saya. Sesok Chandra dilebokne ya.. Tak pateni neng jero,”
Saya jadi teringat sosok Al-Pacino mafia dari Italia sana. Mungkin, Al-Pacino bakalan minder kalau ketemu dengan Anggodo. Luar biasa sekali bapak tua ini.

Namun, ada satu hal yang semakin membuat saya mual. Cerita ”KONON KATANYA” yang mengatakan hukum di Indonesia itu bisa ditawar, diputar-putar, ditarik keatas, kebawah, didiskon, benar adanya!!

Konfirmasi inilah yang memicu kemarahan masyarakat Indonesia di hampir seluruh belahan dunia. Beberapa teman kuliah dan SMU yang saat ini berada di Jerman, Amerika dan Afrika Selatan sampai-sampai mengirimkan e-mail dan pesan facebook meminta penjelasan tentang cerita bau comberan itu.

Wajar kalau masyarakat semakin muak dengan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.

Bukan sok berlebihan,, secara pribadi, saya merasa marah, terluka dan tersakiti mendengarkan rekaman tersebut. Jadi, Wajar kalau masyarakat melawan.

Perlawanan spontan masyarakat terlihat ketika mereka menjadikan sosok Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sebagai simbol perlawanan penegakan hukum!!!
Saat ini, keberadaan Bibit dan Chandra sudah menjadi simbol hati nurani rakyat, yang seharusnya bisa ditangkap dan didengarkan oleh pemerintah.

Ada baiknya, pemerintah agar segera berubah dan memperbaiki diri. Karena jika tidak, rakyat akan melakukan perlawanan secara menyeluruh.

Kalau sudah begitu, jangan salahkan kalau ”People Power” yang sudah dua kali mewarnai perjalanan sejarah Indonesia kembali terulang. Jangan sampai kepercayaan publik menjadi turun yang berimbas kepada gerakan menurunkan presiden yang baru saja dilantik bulan lalu..

Hati kecil saya teriak... ”JANGANNNNNNNN...........”

Sindrom Narsis Lima Tahunan


Menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2009 dan Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009, ribuan atribut kampanye seperti baliho, spanduk, bendera, kalender, stiker, banner, dan selebaran berserakan di banyak tempat strategis. Jika mau jujur, fenomena ini merupakan mahakarya dari para calon legislative (caleg) akan eksistensi mereka agar diperhatikan.

Akibat perbuatan mereka, mengubah kota menjadi galeri terbuka, dengan isi pameran foto-foto wajah polesan photoshop terbaik mereka. Tak hanya itu, angkutan umum dan mobil pribadi disulap menjadi media kampanye, baik oleh caleg di semua tingkatan maupun bakal capres-cawapres. Di tengah iklim politik yang kompetitif, pemasangan pelbagai atribut kampanye yang menghiasi atau malah mengotori wajah Indonesia itu sebetulnya termasuk hal yang harus dilakukan setiap caleg dan atau bakal capres-cawapres.

Setidaknya, hal itu berfungsi sebagai sosialisasi untuk memperkenalkan profil diri, visi-misi, program kerja, blue print kepemimpinan caleg dan atau bakal capres-cawapres jika terpilih. Meski demikian, mencermati content dari pelbagai atribut kampanye yang ada ternyata dominan atau bahkan cenderung berlebihan alias NARSIS!

Biasa..... anomali perasaan manusia seringkali membuat manusia sulit untuk bersikap menyombongkan diri. Narsis akan begitu dibenci bila kata itu melekat dengan kata ”orang lain”, namun pada saat itu pula, narsis itu telah menjadi kenyataan yang dekat dengan kita. Percaya atau tidak, diam-diam kita memiliki sifat alamiah dasar yaitu narsis. Saya pun sekuat tenaga untuk tidak membeci narsis yang bersenyawa dengan kata ”orang lain”. Namun kenyataannya sulit sekali….

Fenomena narsis ini di sisi lain bukan hal yang perlu diseriusi, sebab dalam kenyataannya narsis ini bisa datang dengan berbagai fungsi, misalnya dengan sedikit narsis, kita akan sedikit optimistis.

Nah, kembali ke urusan caleg, kali ini saya benar-benar dibuat heran, sebab narsis saat ini sudah keterlaluan. Coba saja lihat di tiang listrik, pepohonan di jalan, gambar caleg bertebaran di mana-mana. Ada beberapa pesan yang sengaja ingin ditampilkan dan tanpa sengaja, caleg tersebut benar-benar sedang terendam dalam lumpur narsis. Coba aja lihat ungkapan caleg dalam spanduk yang saya temukan di beberapa sudut kota Batam dan Tanjungpinang.

1. Muda Kuat dan Bergairah
2. Bersama Anda, Saya Bisa
3. Bapak Wong Cilik
4. Pilihlah Saya Jadi Wakil mu
5. Kenapa harus Golput kalau ada “Anu”
6. Pilihan Rakyat Sejati
7. Terbukti Amanah

Lebih parah lagi ada yang memberi pesan yang jauh sekali sambungannya dengan tema calegnya... “. “Aku bangga jadi bangsa Indonesia”. Nah, yang bilang saya ga bangga jadi bangsa Indonesia siapa??!!

Ada juga yang kelewat narsis bahkan cenderung keterlaluan. “Selamat datang di kawasan pengaspalan jalan anu.... berkat pengawalan bapak anu, dana APBD terealisasikan untuk pengaspalan.” Gak lupa pula, nama plus dengan logo gambar Pohon Kuningnya nongol di pengkolan jalan. Nah loh…

Memang pemilu ini adalah pemilu narsis. Siklus lima tahunan menyulap orang yang bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa lewat jalur pintas yang dinamakan pemilu. Beruntungnya, saya belum se narsis mereka untuk mengatakan bahwa saya adalah siapa-siapa dari siapa-siapa……