Yuddy Chrisnandi Kena Sanksi

JAKARTA, BC - Panitia Khusus Angket tentang Kebijakan Pemerintah Menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak resmi terbentuk, Selasa (1/7). Fraksi Partai Golkar, sebagai fraksi yang menentang usulan angket BBM, menempatkan 12 anggotanya dalam pansus, yang semuanya penentang angket BBM. Sedangkan Yuddy Chrisnandi, satu-satunya anggota F-PG yang mendukung angket, tidak masuk daftar dan malah diberi surat teguran tertulis oleh fraksinya.

”Surat teguran tertulis dari fraksi sudah disampaikan,” kata Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR dari F-PG.

Ketika dikonfirmasi soal itu, Yuddy membenarkan. Inti surat itu menganggap dia tidak melaksanakan arahan fraksi dan merusak citra partai yang solid. Teguran ini berarti yang kedua bagi Yuddy setelah sebelumnya juga mendukung interpelasi lumpur Lapindo. ”Suratnya baru saya terima tadi pagi. Yang tanda tangan Ketua Fraksi Priyo Budi Santoso dan Sekretaris Fraksi Samsul Bahri,” paparnya.

Yuddy menegaskan, dia ikhlas dan sudah memperhitungkan semua itu, termasuk risiko terburuk. Menurut Yuddy, apa yang dia lakukan hanya menyuarakan hati nurani dan aspirasi rakyat, serta kebenaran obyektif.

”Tidak benar saya merusak citra partai. Saat mendukung angket, saya justru menerima 250-an SMS yang memberi dukungan doa. Tak sedikit juga dari kader Golkar, baik itu Ormas Pendiri Golkar maupun kader-kader di daerah,” ujar Yuddy.

Keanggotaan pansus angket ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. Berbeda dengan kebiasaan, anggota pansus angket yang diajukan 10 fraksi DPR tersebut tak dibacakan. Ketua DPR Agung Laksono (F-PG) yang memimpin rapat langsung menawarkan persetujuan atas keanggotaan pansus angket yang terdiri atas 50 orang itu.

Sebanyak enam fraksi mengirimkan langsung ketua fraksinya dalam pansus angket tersebut, yaitu Fraksi Partai Golkar (Priyo Budi Santoso), Fraksi Partai Demokrat (Sjarif Hasan), Fraksi Partai Amanat Nasional (Zulkifli Hasan), Fraksi Kebangkitan Bangsa (Effendy Choirie), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (Mahfudz Siddiq), dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (Carol D Kadang).

Keanggotaan pansus angket berdasarkan prinsip proporsionalitas keanggotaan masing-masing fraksi di DPR. Fraksi Partai Golkar yang tidak mendukung penggunaan hak angket mendominasi dengan 12 orang. Demikian juga Fraksi Partai Demokrat yang menolak hak angket 5 orang. F-PDIP (10), F-PPP, F-PAN, dan F-KB (5), F-PKS (4), F-BPD (2), F-PBR, F-PDS (1).

Patriotisme Obama Dipertanyakan


INDEPENDENCE, BC - Setelah isu rasisme, kini kandidat presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama, menghadapi isu patriotisme. Kubu rival Obama, Partai Republik, mempertanyakan patriotisme dan nilai inti Amerika menjelang perayaan Hari Kemerdekaan AS pada 4 Juli.

Menjawab pertanyaan itu, Obama mengatakan tidak seharusnya seorang kandidat menggunakan patriotisme sebagai ”pedang politis” dalam pemilu presiden. ”Pertanyaan tentang siapa yang patriotis dan siapa yang tidak patriotis sering meracuni debat politis dan memecah belah,” katanya, Selasa (1/7) WIB dalam kampanye di Independence, Missouri.

”Sepanjang hidup, saya selalu mencintai dan patuh kepada negara ini. Selama 16 bulan terakhir, baru kali ini patriotisme saya dipertanyakan,” ujar Obama.

”Tentu kita bisa sepakat bahwa tidak ada partai atau filsafat politik yang memiliki monopoli atas patriotisme. Perbedaan pendapat tidak akan membuat seseorang menjadi tidak patriotis,” katanya.

Obama dikritik karena tidak mengenakan pin bendera Amerika. Kritikus juga menyerang Obama, menyebutnya elitis dan tidak selaras dengan nilai dasar Amerika saat mengatakan dalam sebuah kampanye bahwa kelas pekerja menjadi sangat pahit sehingga harus berpaling kepada Tuhan dan senjata.

Obama menghadapi kontroversi baru saat pensiunan jenderal Wesley Clark, yang mendukung Obama, menyerang patriotisme kandidat Republik, John McCain. Dalam sebuah siaran di CBS, Minggu, Clark mengatakan, dia mengagumi jasa McCain selama Perang Vietnam, tetapi tidak serta-merta menjadikan McCain layak menjadi presiden.

”Saya kira, naik pesawat tempur dan tertembak jatuh bukanlah kualifikasi untuk menjadi presiden,” kata Clark. Clark membela pernyataannya itu dan mengatakan tidak mewakili kubu Obama.

Menanggapi hal itu, Obama mengatakan, patriotisme harus melibatkan kerelaan untuk berkorban. ”Bagi orang-orang seperti John McCain yang telah mengalami siksaan fisik saat berjuang bagi negara kita, pengorbanan itu tidak perlu dibuktikan lagi,” ujarnya.

Dalam kampanyenya, McCain mengusung statusnya sebagai veteran Perang Vietnam yang paling siap untuk menjaga keamanan AS. McCain menyebut pernyataan Clark tidak perlu. ”Saya bangga dengan catatan pelayanan saya. Saya punya banyak teman dan pemimpin yang bisa mengujinya,” ujar McCain.

KPK Geledah Ruang Dirjen


JAKARTA, BC - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertindak cepat. Setelah menangkap anggota Komisi I DPR, Bulyan Royan yang menerima suap 66 Ribu dolar AS dan 5.500 euro, KPK langsung menggeledah kantor Departemen Perhubungan, Selasa (1/7).

KPK meyakini, suap setara Rp 693 juta (bukan Rp 699 juta seperti diberitakan kemarin) tersebut terkait dengan proyek pengadaan kapal patroli di Departemen Perhubungan. Sebelum pindah tugas ke Komisi I, Bulyan berada di Komisi V DPR yang menjadi mitra kerja Departemen Perhubungan.

Penggeledahan yang dilakukan puluhan petugas KPK disaksikan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan Hari Jogi, dan sejumlah pejabat departemen tersebut.

Petugas KPK menyebar di dua gedung utama Departemen Perhubungan (Dephub), yaitu Gedung Karya dan Gedung Karsa. Ada tiga lantai yang menjadi sasaran petugas KPK, di antaranya ruangan kerja Direktur Jenderal Perhubungan Laut Effendi Batubara di lantai empat, dan ruang Direktorat Perhubungan Laut di 12-13.

KPK mencari bukti keterlibatan pejabat di Dephub terkait suap yang diterima Bulyan Royan. Anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi DPR itu ditangkap usai mengambil uang di sebuah money changer di Plaza Senayan, Jakarta, Senin (30/6) petang.

Effendi Batubara mengaku tidak tahu menahu tentang penangkapan Bulyan. “Saya baru tahu dari koran,” kata Effendi seraya mengatakan siap dimintai keterangan KPK jika dibutuhkan.

Ia membenarkan adanya proyek kapal patroli kelas III pada 2008. “Pengadaan 20 unit kapal patroli kelas III yang panjangnya 28 meter per kapal. Tendernya bernilai Rp 120 miliar,” ujarnya.

Effendi juga mengatakan, proyek itu sudah ada pemenangnya, yaitu PT Bina Mina Karya Perkasa, PT Febrite, PT Sarana Febrindo Marina, PT Carita Boat, dan PT Proskoneo. “Tanda tangan baru 23 Mei lalu, tahun ini harus selesai. Kalau urusan begitu yang ngurusin Pak Didik Suhartono, ketua panitia lelang,” ujarnya.

Lima pemenang tender itu akan mendapatkan kucuran dana masing-masing Rp 5,8 miliar per unit. Kapal patroli jenis ini berbahan fiber dengan kecepatan 24 knot, rencananya akan dioperasikan sebagai kapal patroli Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) di Kupang, Pontianak, Sampit, Tahuna, Dumai, Lembar, Teluk Bayur, Fakfak, Ternate, Sorong, Padang Bai, dan Bengkulu.

Untuk proyek kedua, pengadaan kapal Patroli kelas Ib. Kapal dengan panjang 60 meter seharga Rp 125 miliar ini proses tender diikuti lima peserta. “Hasilnya segera disetujui,” tandasnya. Anggaran pengadaan kapal sebesar Rp 25 miliar per tahun.

Tinjau kembali
Kepala Pusat Komunikasi Dephub, Bambang Supriyadi Ervan mengatakan, pihaknya mempersilakan petugas KPK melakukan penggeledahan di kantor Dephub. Menurutnya, penggeledahan dilakukan sudah sesuai prosedur hukum.
Menanggapi terkuaknya kasus itu, Menhub Jusman Syafii Djamal mengatakan akan meninjau kembali pengadaan 21 unit kapal patroli untuk memperkuat operasi KPLP. “Kalau ada kasus semacam ini sebaiknya dievaluasi karena kami tidak ingin ada masalah di kemudian hari,” kata Jusman.

Menhub mengaku belum mengetahui apakah ada stafnya dan bawahannya yang terlibat dalam kasus itu. “Sampai sekarang masalahnya lebih kepada dugaan upaya untuk memuluskan anggaran di Dephub. Namun saya belum tahu persisnya,” kata Menhub.

Ia berjanji membantu KPK mengungkap kasus bersangkutan. “Saya sudah bicara dengan Pak Antasari (Ketua KPK Antasari Azhar),” ujar Jusman Syafii.

Ia menegaskan dalam pembicaraan dengan Antasari belum disinggung mengenai orang dalam di Dephub yang terlibat. “Ini kan baru dugaan ya. Jadi belum ada pembicaraan soal itu,” ujarnya.

Siap menyerahkan
Mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia ini mengemukakan, selama ini masalah keuangan di Dephub berjalan normal, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Kami selalu mengajukan anggaran ke Departemen Keuangan, dan setelah itu dibahas dengan mitra kerja kami di Komisi V DPR,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu Jusman juga berjanji menyerahkan oknum pegawai Dephub yang terlibat dalam kasus suap tersebut. “Kalau ada orang kita yang terlibat ya akan kita serahkan. Kita pasti transparan,” tegasnya.

KPK menduga suap yang diterima Bulyan Royan terkait pelolosan anggaran pengadaan kapal. “Kami duga pemberian uang itu ada kaitannya dengan pelolosan anggaran pembelian kapal patroli,” ujar Juru Bicara KPK Johan Budi.

Namun sampai sekarang, KPK masih menyelidiki lebih dalam peran Bulyan, mengapa menerima uang dari BMKP (PT Bina Mina Karya Perkasa), pemenang tender dalam proyek pengadaan kapal patroli Ditjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan. “Itu yang sedang kami kembangkan, mengapa dapat duit dari dia (BMKP),” kata Johan.

Direktur Utama BMKP, Dedi Suwarsono, yang diduga menjadi rekanan Bulyan, masih diperiksa. Apakah kemungkinan Dedi bisa menjadi tersangka usai diperiksa? “Belum tahu, kemungkinan itu ada,” kata Johan Budi.

Utang Rp 4 T Lenyap


JAKARTA, BC - Anak buah jaksa Urip Tri Gunawan mengaku kaget saat menyaksikan tayangan pengumuman penghentian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 29 Februari 2008 di televisi. Mereka heran karena temuan kekurangan pengembalian aset senilai Rp 4 triliun lebih oleh Sjamsul Nursalim tidak diumumkan.

Hal itu terungkap dalam sidang kedua kasus penyuapan dan pemerasan dengan terdakwa Urip Tri Gunawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa (1/7). Urip menjadi terdakwa penerima suap dari Artalyta Suryani senilai 660 ribu dolar AS terkait kasus BLBI II dan memeras mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn M Yusuf senilai Rp 1 miliar.

Sidang itu menghadirkan saksi Hendro Dewanto, Yunita Arifin, dan Yoseph Wisnu Sigit. Ketiganya adalah jaksa anggota tim BLBI II yang diketuai jaksa Urip untuk menyelidiki kasus Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

Dalam sidang, Hendro menuturkan, timnya menemukan adanya tindakan menyalahi hukum dalam kasus BDNI. Namun, hal itu justru tak terungkap dalam rekomendasi yang dikeluarkan Kejaksaan Agung (Kejagung) saat disampaikan kepada publik pada 29 Februari 2008.

“Kami menemukan ada kekurangan penyerahan pemegang saham BDNI, dalam hal ini Syamsul Nursalim, sebesar Rp 4 triliun 758 miliar dan usulan kami pada Menkeu untuk melakukan penagihan kepada yang bersangkutan,” ujarnya dalam persidangan. Ia menambahkan, temuan itu telah dilaporkan kepada JAM Pidsus yang saat itu dijabat oleh Kemas Yahya Rahman.

“Kita heran, kok di TV temuan yang Rp 4 triliun itu nggak ada,” kata Hendro. Namun Hendro dan anggota tim lainnya hanya bisa kaget dan heran.

“Hanya itu saja. Tidak berusaha bertanya ke pimpinan,” tanya Teguh Hariyanto, hakim ketua pada persidangan itu. “Ya sudah kebijakan pimpinan. Ya sudah begitu saja,” jawab Hendro.

“Jadi Saudara merasa hasil kerja tim sudah diabaikan,” tanya Teguh lagi. “Iya,” jawab Hendro.

Hendro juga mengungkapkan bahwa pada saat ekspose kasus, Urip mengarahkan kasus dari dugaan perkara pidana ke perkara perdata.

Jaksa Urip yang duduk di kursi pesakitan tampak serius mendengarkan kesaksian mantan anak buahnya. Sesekali dia menempelkan tangan di dahi, mengapit batang hidungnya dengan kedua tangan, lalu menunduk dengan topangan kedua tangan di dahinya.

Amplop putih
Hendro menuturkan, ia tahu ada upaya penyuapan oleh mantan Kepala BPPN Glenn Yusuf yang berulangkali diperiksa Kejagung terkait penyelidikan dugaan korupsi pada penyerahan aset BLBI terkait Bank BCA dan Bank BDNI.

Menurut Hendro, upaya penyuapan itu melalui pengacara Glenn, yakni Reno Iskandarsyah. Reno memberikan amplop kepada Alex Sumarna yang juga anggota Tim BLBI II.

Dia menuturkan, pada awal Januari 2008, Reno menemui Alex Sumarna. Hendro juga hadir dalam pertemuan itu. Reno lantas mengeluarkan amplop berwarna putih dan menyodorkan kepada Alex. Hendro lantas bereaksi spontan mengingatkan Alex. “Pak, jangan itu tidak baik,”ujar Hendro.

Alex pun urung menerima pemberian Reno. Ia memberi tahu pada teman-temannya di Kejaksaan Agung perihal amplop yang ia tidak ketahui isinya.

Dalam kesempatan lain, kata Hendro, Reno juga pernah mendatangi dirinya dan menanyakan siapa Ketua Tim BCA. Hendro menjawab, Sriyono untuk BCA dan Urip Tri Gunawan untuk BDNI. Hendro mengaku tahu bahwa Reno juga berupaya menyodorkan “amplop” kepada tim itu.

Bahkan, dari informasi yang diperoleh Hendro, Reno juga menawarkan amplop ke auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diminta bantuan Kejagung untuk menyelidiki kasus BLBI.

Dua saksi lainnya yang juga dihadirkan jaksa adalah Yunita Arifin dan Yoseph Wisnu Sigit juga mengaku pernah dengar informasi percobaan penyuapan itu.

Titipan 100
Dalam kesaksiannya, Hendro juga menuturkan bahwa jaksa Urip pernah menanyakan siapa nama istri pemilik BDNI Sjamsul Nursalim. Setelah itu Urip menyampaikan bahwa ada titipan 100.

“Pada 7 September 2007, saya ditelepon Pak Urip. Pak Urip bertanya kenapa saya tidak masuk. Saya bilang saya sakit. Lalu Pak Urip bilang sudah ketemu seseorang. Lalu saya ditanya siapa nama istri Sjamsul Nursalim. Saya bilang Ici Nursalim secara spontan,”tutur Hendro.

“Lalu Pak Urip bilang nomor 1, 2, dan 3 sudah dianu, tinggal nomor Pak Hendro. Pak Urip bilang ada orang yang sering datang ke kantor meminta bantuan. Lalu telepon mati. Kemudian Pak Urip telepon kembali, bilang ada titipan 100 untuk tim sebagai tanda persahabatan,” urai Hendro.

Hendro mengaku saat itu hanya tertawa mendengar ucapan Urip yang merupakan Ketua Tim BLBI II. Namun Hendro tak menjelaskan apa yang dimaksud dengan titipan ‘100’ maupun kalimat ‘sudah dianu’.

“Pada Senin (10 September 2007) setelah apel pagi, saya bilang ke Pak Urip, saya tidak bisa tidur gara-gara telepon kemarin. Saya tidak setuju dengan Pak Urip. Kata Pak Urip, itu cuma guyonan kok. Lalu saya bekerja kembali,” kata Hendro.

Sementara menurut Yunita Arifin, jaksa Urip mengambil semua surat panggilan terhadap Sjamsul Nursalim. “Panggilan pertama, kedua, dan ketiga diambil oleh Pak Urip,” kata Yunita.

Menurut dia, biasanya surat panggilan yang dilayangkan jaksa akan diantarkan oleh pegawai bernama Paino. Itu sebabnya jika Urip mengambil surat pemanggilan menjadi di luar kelaziman.

Meski demikian, Yunita dan timnya tak mempermasalahkan hal itu. Alasannya, dia bisa mempercayai Urip yang menjadi koordinator tim BLBI II. “Ya karena Pak Urip yang minta kepada kami,” ujar Yunita yang mengaku tak pernah melihat tanda terima atas surat panggilan kepada Sjamsul.

Jaksa KPK Sarjono Turin menyatakan bahwa hal itu belum terungkap dalam kesaksian Yunita pada sidang Artalyta Suryani. “Ternyata terkuak kalau ini tiga-tiganya. Itulah yang menjadikan modus suap Artalyta,” ujar Sarjono.

“Hot Pants? Oh, No”

Flint, BC – Siapa bilang di Amerika, orang tidak “gerah” melihat “organ-organ dalam” menyembul dari balik celana. Kepala Polisi Flint, Michigan, AS bahkan sampai mengeluarkan perintah untuk menangkap mereka yang menggunakan celana melorot alias hot pants yang terlalu rendah.
David R Dicks, Kepala Polisi Flint yang baru mengeluarkan perintah tersebut, Kamis pekan lalu. Dalam pernyataannya dia mengatakan, memakai celana terlalu rendah tidak sama dengan kebebasan berbicara. “Itu bisa memicu tindak kejahatan,” katanya seperti dikutip surat kabar Flint Journal, Jumat (27/6).

Langkah Pak Polisi ternyata mendapat dukungan dari warga Flint. Dari jajak pendapat yang dilakukan harian itu, ternyata lebih banyak masyarakat setuju. Sebanyak 1.475 responden yang tercatat hingga Selasa (1/7), 54 persen di antaranya menganggap ide itu hebat.

Mereka juga tidak suka “pemandangan” yang menyembul dari celana yang kerap turun di bawah pinggul tersebut. Sementara itu, 45 persen lainnya menyatakan hal itu sebagai gagasan tolol karena masih banyak masalah lain yang penting untuk diurusi.