Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pejuangnya.
Ungkapan ini sudah berulangkali diucapkan. Namun, benarkah para pejuang yang tersisa bisa mengecap manisnya kemerdekaan yang mereka perjuangkan dengan bertaruh nyawa itu?
Tengoklah Bawaihi Saleh (89), seorang veteran perang yang masih tersisa di Bumi Segantang Lada ini. Di usianya yang senja, Bawaihi hanya bisa terbaring lemah di dalam kamar ukuran 2x3 meter di rumah anaknya Taman Harapan Indah Blok C1/11, Batu 8 Tanjungpinang.
Namun, pejuang kelahiran 26 Maret 1919 ini tetaplah pejuang. Darah pejuang mengalir deras di nadinya dan akan terus berkobar hingga ajal menjemputnya. Selemah apapun kondisinya, jika seorang memberi hormat padanya, sekuat tenaga ia akan mengangkat tangannya untuk membalas hormat kepadanya.
“Yang tersisa dari ayah saya hanyalah semangat. Sejak dua tahun ini kondisi ayah saya mulai menurun,” kata anak perempuannya, Chairunnibah Bawaihi (61). Semasa mudanya, kata Chairunnibah, ayahnya aktif memperjuangkan kemerdekaan. Memang, dirinya berjuang melawan penjajah di beberapa daerah di Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Tapi bukankah tanpa tetesan keringat bahkan darahnya, kemerdekaan itu tidak dirasakan oleh kita masyarakat Kepri ini.
Semangat membebaskan diri dari penindaasn itu, membawa dirinya meraih berbagai penghargaan dan gelar tanda jasa dari pemerintah. Pada masa Presiden Soekarno, dirinya pernah meraih penghargaan atas jasa-jasanya melawan penjajah.
Chairunnibah menceritakan bahwa pada awalnya ayahnya adalah seorang guru. Akan tetapi kecintaannya kepada tanah air mendorong ia ikut berjuang mengangkat senjata. Resikonya, ia dikejar-kejar oleh penjajah dan terpaksa harus bersembunyi di hutan-hutan Kalimantan.
Keluarga yang dicintainya pun harus dikorbankannya demi mencapai tujuan seluruh bangsa Indonesia, Merdeka“Ketika saya dilahirkan, beliau tidak ada karena harus bersembunyi di hutan,” kenang Chairunnibah lagi. Akhirnya, perjuangan Bawaihi tidak sia-sia. Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan yang di cita-citakannya akhirnya terwujud juga.
Atas jasa-jasanya pemerintah menganugerahi pangkat terakhir sebagai Letnan Satu (Lettu). Selain itu, pemerintah juga telah menjanjikan untuk memberikan tempat peristrahatan terakhir di taman makam pahlawan.
Pejuang juga manusia. Naluri kemanusiaannya sebagai seorang ayah tentu berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Ditengah himpitan ekonomi yang melanda Indonesia, Ia rela mengorbankan saksophone kesayangannya untuk Chairunnibah.“Sekitar tahun 1966 ayah saya datang ke Pontianak menjenguk saya. Ia memberikan saksophone kesayangannya kepada saya. Dia meminta saya menjual saxophone ini jika saya membutuhkan biaya untuk hidup saya,” cerita Chairunnibah.
Saat ini, bentuk perhatian pemerintah pusat diwujudkan dengan memberikan tunjangan veteran setiap bulannya. Uang tersebut digunakan pihak keluarganya untuk membeli beberapa kebutuhan nya seperti popok untuk dirinya. Maklum saja, sejak kondisinya menurun, praktis Bawaihi tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya.
Kondisi Bawaihi yang juga gemar bermain bola pada masa mudanya ini sangat membutuhkan perhatian pemerintah. Perhatian itu tidak hanya diwujudkan dalam bentuk materi. Tapi juga bisa diwujudkan dengan memberi perhatian dan rasa hormat kepada mereka. Sikap itu akan menempatkan Bawaihi dan pejuang-pejuang lainnya di posisi selayaknya.
“Bapak berpesan kepada kami untuk tidak mementingkan materi. Akan tetapi kebanggaan dan kehormatan sebagai anak dan cucu pejuang,” kata Chairunnibah.Maka dari itu, Ia berharap pemerintah Provinsi Kepri dapat lebih memerhatikan keberadaan Bawaihi.
Harus disadari, masyarakat Kepri mampu melepaskan diri dari penjajahan, kebodohan, dan kemiskinan tidak terlepas dari peran para veteran perang dan veteren-veteran lain. Maka dari itu, masih adakah penghargaan dari kita yang katanya bangsa yang besar?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar